Repost dari aljihadu-sabiluna.abatasa.com, tertanggal 08 Juni 2011.
Ya. Itu adalah sebuah pertanyaan
yang kerap kali terngiang dalam kepala saya. Hati ini kadang sungguh
sangat capai dengan apa yang dilakukan hati ini sendiri. Bisa
dibilangnya, koordinasi indera dan hati kadang tidak sinkron, yang
kadang berakibat sakit hati, atau justru menyakiti hati yang lain.
Sebagai manusia biasa, kita memang
telah difitrahkan memiliki kelemahan yang tak mungkin kita pungkiri.
Jika itu lupa, atau bersalah. Itu wajar. Tapi kita bukanlah manusia yang
Sosoknya selalu terindukan dalam shalawat kita. Ya, kita bukanlah
seorang Nabi yang memiliki pribadi Maksum.
Dalam hati kita seringkali masih
saja tercoreng oleh penyakit hati bernama iri, dengki, hasad, khianat,
munafik, dan sifat bujukan setan lainnya. Penyakit itulah yang akan
mengotori hati kita yang semula bersih, menodainya dengan titik demi
titik noktah yang kemudian akan menutupi hati kita. Dan sangat munkgin
akan menimbulkan kematian hati. Kematian yang lebih menakutkan
dibandingkan dengan sekadar kematian jasad saja.
sebenarnya, kita hanya perlu
sedikit bersabar menghadapi perilaku hati kita itu. Bukankah Rosululloh
sudah merupakan sosok yang menjadi contoh utama kita dalam
kepribadiannya yang digambarkan seperti Al-Qur’an? Ataukah tidak cukup
Tuhan kita, Rabbul ‘Izzati menjadi contoh nan nyata yang Maha Sabar.
Jika alasan kita membiarkan
penyakit-penyakit bersarang dalam dada adalah manusiawi, itu hal wajar
saja. Tapi, jika kita berlatih untuk bersabar, legowo dengan keadaan,
dan mulai menjaga hati kita agar tetap bersih, itu adalah hal utama.
Lakukan saja hal-hal yang baik semampu kita bisa, sambil mengharap
Ridho-Nya. Ya. Hanya Ridho dan Rahmat-Nya yang kita minta, bukan
kepuasan nafsu pribadi untuk mengharapkan kondisi kita selalu baik
sebagaimana yang ada pada saudara kita.
Percayalah. Masing-masing kita akan memiliki ujian dan cobaan masing-masing
dari-Nya untuk menguji kita. Jangan pernah merasa meri. Jangan biarkan
pikiran kita mengembara seenaknya untuk bersikap hasad, berhati dengki,
iri, atau penyakit hati lain atas kebahagiaan yang menimpa saudara kita.
Justru, jika jiwa kita telah
menyatu dengan saudara kita, siapapun dia asalkan masih satu aqidah,
kebahagiannya adalah kebahagiaan kita. Kebahagiaan kita adalah kebahagiaan yang harus kita share untuknya pula. Bukan sendiri-sendiri, karena kita stu tubuh.
Jadi, jangan pernah membiarkan jiwa
kita terkotori atas diri kita sendiri. Karena bagaimanapun jiwa, setiap
prasangkaan yang kita sangkakan bahkan atas saudara kita sendiri, kelak
akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya. Jadi, jaga bersih hati
kita selalu. Sebelum ajal menjemput, masih ada waktu untuk bersujud.
Wallahua’lam bishShawab.
Post a Comment