Mendekati sepuluh tahun bergelut di salah satu bidang pendukung negara ini, rasanya saya bisa menarik sisi-sisi kehidupan yang saya lalui di sini. Bekerja, tak hanya memerlukan hard skill saja. Akhir-akhir ini, kemampuan soft skill seseorang dibilang sangat menentukan bagaimana perjalanan karir seseorang. Kemampuan berkomunikasi, membangun relasi, menciptakan visi dan misi, dan mengejawantahkan keinginan besarnya untuk organisasi menjadi isu yang sangat penting untuk disoroti mengingat menjadi salah satu penentu sukses tidaknya seseorang menduduki sebuah jabatan.
Saya, yang hanyalah sebuah buih di lautan lepas, seringkali mencermati karakter seseorang. Beberapa karakter saya temukan bagaimana perilaku seseorang jika dihadapkan "sesuatu yang menyenangkan" secara duniawi, sebut saja harta, tahta, dan tentu saja "wanita". Saya kadang berfikir, mengapa orang bekerja mati-matian dari jam tujuh pagi bahkan melewati matahari terbenam. Apakah betul semua itu hanya demi uang yang akan masuk kerekening di awal bulan saja?
Ingatan sayapun kembali kepada sebuah kejadian, dimana ada seseorang yang saangat mengabdikan dirinya untuk oragnisasi. Kebetulan, dia tak memiliki banyak "kerepotan" di rumah, sehingga pengabdiannya kepada organisasi ini sungguh sangat bisa diancungkan jempol dua, tambah dua jempol kaki lah. Tapi, yang saking saya kecewanya adalah, saking perfeksionisnya, ia rela melakukan segala cara untuk membuat jalur karirnya itu mulus. Membangun relasi dan hubungan dengan atasan? Sudah barang tentu. Yang sangat disayangkan adalah, kalau di dalam bahasa Jawa dinamakan "grusa grusu" atau "ngongso" menjadi budaya kerjanya setiap hari.
Saya rasa nggak masalah sih, selama rekan kerjanya itu sama-sama memaklumi. Tapi akan mernjadi PR besar jika, relasi yang notabene adalah anak buahnya itu, seringkali terdzalimi dengan ancaman yang ia lakukan setiap saaat. Aapa ini yang dinamakan cara baik untuk menuju karir?
Di lain kejadian, saya pun menermukan segelintir orang yang dia dengan mudahnya, memberikan sesuatu yang nampaknya tidak diperkenankan secara aturan, untuk "membangun hubungan baik". Saya kenal betul dia, adalah seorang ynag sudah paruh baya, dan saya rasa uang bukanlah salah satu tujuannya untuk bekerja ini. Apa yang ada dalam pikiran saya kemudian adalah, "masa depan" orang itu, dengan ahrapan akan diingat apabila memberikan sesuatu lebih sekarang, dan akan ditagihkannya di amsa depan. Sebutkanlah hutang budi kali ya.
Masalah kejujuran memang hal sangat sederhana, yang terkesan gampang dilakukan sewaktu kita kecil dulu, tapi kini menjadi PR besar orang-orang dewasa yang tengah berkesibukan dalam bekerja. Apakah jujur bisa diidentikkan dengan integritas? Saya rasa itu adalah kata yang pas untuk mendefinisikan jujur yang sebenarnya.
Saya tidak bisa menghitung secara pasti, berapa sebetulnya orang-orang dewasa kini yang berani menyatakan prinsip dalam hidup dia yang sebenarnya dalam dunia kerja. Atau, orang dewasa yang bisa mengatakan dengan lantang, "tidak", jika dihadapakan akan pilihan dalam dunia kerja yang bertentangan dengan keyakinannya. Ya, saya rasa sangat sedikit.
Contoh yang paling gampang adalah, bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri dalam dunia kerja. Misalnya, ketepatan waktu ketika absensi. Kalau dulu, era masih jahiliyah, ketika absensi masih dalam bentuk goresan tangan di kertas, orang akan lebih mudah menitipkan absen dengan temannya agar dia tidak mendapat potongan. Banyak isu-isu yang menjadi menarik jika dibandingkan dengan masalah kejujuran di lingkungan kantor. Absensi, lembur, pengadaan, transparansi, dan contoh lainnya.
Contoh lainnya, seorang pedagang yang berani jujur untuk menyampaikan kekurangan suatu produknya di hadapan pelanggan. Kalau di masa sekarang ini, banyak penipuan, baik lewat sms, internet, atau penipuan langsung yang pelakunya kabur, merupakan contoh masih rendahnya kejujuran para pedagang.
Namun demikian, saya akui juga masalah kejujuran ini sudah mulai kembali ditegakkan di organisasi ini, dengan dimulainya dengan nilai-nilai yang menjadi pedoman sehari-hari dalam bekerja. Sebut saja "integritas", kini tengah diupayakan kembali untuk menyongsong reformasi transformasi kelembagaan dalam organisasi ini.
Saya pun melihat, ada beberapa orang yang rela mengembalikan uang kepada negara, yang memang bukan menjadi haknya. Kegiatan inipun bukan hanya diinisiasi oleh para buih-buih di lautan saja, tetapi mereka yang notabene adalah pengambil kebijakan dalam organisasi ini.
Selain itu, saya juga merasa sudah mulai banyak generasi milenial yang mulai berani bersuara di depan publik, mengutarakan pendapatnya sesuai dengan keadaan yang memang ia jalani saat ini. Merasa ditempatkan di tempat terpencil, mutasi yang sudah sekian lama tetapi belum mendapatkan giliran, atau memang ketersediaan pendukung sarana dan prasana yang kurang memadai untuk bekerja secara jarak jauh.
Mencermati hal tersebut, sewajarnya memang nilai kejujuran harus dimulai dari diri sendiri. Yang perlu kita ingat adalah, kejujuran bukanlah hal yang mudah untuk dikerjakan. Ia memerlukan keyakinan dan keteguhan yang luar biasa dari dalam diri seseorang. Saya menyebutnya bahwa ini berbanding lurus dengan ruhaniyah seseorang. Kalau anak kecil mengatakan, hayoloh jangan bohong, nanti dosa! Ini adalah petuah sederhana yang hendaknya dapat melatih untuk kita aplikasikan dalam diri kita sampai dewasa nanti.
Karena, betapa lihatlah berapa banyak dampak ketidakjujuran yang kemudian akan merentet kepada keburukan lainnya. Mencoba untuk mengatakan "tidak", "No", "Jangan", jika memang bertentangan dengan prinsip kita pribadi.
Tulisan ini menjadi pengingat bagi saya khususnya, yang lebih sering menjadi "yes woman" dibandingkan dengan mencoba berdiplomasi memperjuangkan prinsip pribadi. :)
Post a Comment