Jika saya menjadi seorang dokter, saya akan membantu orang-orang korban gempa Yogyakarta tahun 2006 lalu. Tak kuasa saya melihat ambulans mondar mandir membawa orang yang kesakitan. Saya yang waktu itu masih berusaha belasan tahun, hanya bisa termenung melihat semua itu terjadi. Bahkan mengurusi diri sendiri sajapun masih susah dan butuh bantuan orang lain, melihat darahpun masih takut, bagaimana mau menjadi seorang dokter.
Tapi ternyata, niat saya itu tidak berakhir baik. Saya tidak lulus ujian masuk universitas jurusan kedokteran, dan malah masuk ke dalam jurusan kesehatan yang lain untuk menjadi seorang bidan. Apakah berhenti disitu? Ternyata, sekolah di jurusan bidan bukanlah akhir. Saya justru diterima sebagai salah satu peserta ujian yang diterima di salah satu sekolah kedinasan milik pemerintah. Saya tidak kecewa, dan saya ridha dengan takdir ini dan berusaha memberikan yang terbaik.
Dan akhirnya, saya harus mengubur cita-cita saya menjadi salah satu tenaga kesehatan dan berbalik seratus delapan puluh derajat menekuni bidang yang lain. Setelah saya fikir-fikir, memang kebanyakan orang sering mengaitkan cita-cita sebagai dokter adalah yang terbaik. Padahal, itu semua bukanlah gengsi semata. Menjadi dokter atau tenaga kesehatan lainnya membutuhkan pengorbanan. Bukan hanya soal pendapatan yang "sekilas" terlihat waow dibandingkan profesi yang lain.
Bayangkan saja, jika waktu itu saya betul-betul menjadi dokter dan menghadapi masa-masa krisis seperti ini. Apa saya akan kuat? Apa saya akan betul-betul meninggalkan keluarga untuk mengabdi memperjuangkan hidup orang lain? Sejumlah pertanyaan itupun kini berputar di kepala, dan memang rencana Tuhan itu adalah yang terbaik. Posisi-posisi itu milik orang-orang yang benar-benar mempertaruhkan hidupnya untuk orang lain.
Di masa-masa pandemi begini, jika melihat postingan di media sosial yang memperlihatkan bagaimana perjuangan seorang tenaga kesehatan, saya menjadi trenyuh. Sekian jam menggunakan APD, tanpa makan minum, dan harus menahan Buang Air Kecil maupun Besar. Maasyaallah. Saya sungguh tak dapat membayangkan perjuangan mereka. Meninggalkan keluarga selama berhari-hari karena kawatir keluarganya akan terkontaminasi dengan mereka yang beberapa mungkin sudah terinfeksi COVID-19.
Melihat begitu kemudian saya berkaca dengan diri saya sendiri. Bekerja di tempat yang tidak terlalu harus mempertaruhkan fisik, masih mendapat penghasilan, dan dengan segala kemudahan hendaknya menjadikan saya untuk bersyukur dan tidak mengeluh.
Post a Comment