Berawal dari menulis jurnal, saya dari kecil suka menulis diari. Saya nggak terlalu pandai berbicara di depan publik, makanya saya mulai mengungkaan apapun melalui tulisan. Dulu, saya sangat suka mencatat hal-hal kecil. Bukan hanya pelajaran sekolah saja yang saya catat tentunya, tetapi apa yang saya rasakan sehari-hari saya catat. Semenjak SMP sih saya belum terlalu banyak menulis. Karena waktu itu, menulis saya fokuskan untuk mencatat pelajaran sekolah saja.
Mulai menduduki bangku SMA, saya baru mulai menseriusi diri untuk menuliskan diari. Waktu SMA bagi saya adalah masa-masa sulit. Saya harus membagi banyak waktu, bukan hanya belajar, tetapi juga mulai mengikuti ekskul sekolah terutama kerohanian islam yang lumayan banyak waktu untuk menyita di waktu sore. Jaman SMA, saya sudah tidak terlalu mengejar mencatat pelajaran, karena beberapa materi telah ada di buku paket. Tidak sesaklek ketika jaman SMP.
Berhubung aktivitas SMA yang mulai mencari jati diri, saya sangat suka mengunjungi perpustakaan, membaca buku aneh-aneh, dan yang paling saya suka adalah buku-buku yang berbau psikologi dan trik trik belajar. Masih ingatkah kalian dengan bukunya Bobbi De Porter & Mike Henarki yang berjudul Quantum Learning? Saya baca buku itu di perpustakaan sekolah sampai beberapa kali, karena belum mampu membelinya. Wkkwkwk. Ah, masa-masa SMA sepertinya kenangan membaca buku lumayan menempel di ingatan saya.
Selepas dari itu, saya sangat suka mengunjungi Gramedia, meski nggak beli dan cuma membaca-baca review nya saja. Buku yang waktu itu saya sangat suka adalah buku milik Robert T. Kiyosaki yaitu Rich Dad Poor Dad yang sangat terkenal hehe. Kemudian, sayapun menemukan salah satu buku tentang panduan menulis yang lumayan menuntun sedikit untuk melatih menulis. Tapi sayang, saya sudah lupa judulnya dan keberadaan buku itupun entah ada dimana. Memang, perpustakaan dan tulisan adalah dua hal yang seharusnya saling berkaitan.
Nah, kembali pada kebiasaan menulis tadi, sewaktu SMA saya suka mencatat keseharian saya. Selain itu, saya juga suka menyalin materi tentang keislaman yang waktu itu saya dapati dari bundel majalah. Rasanya memang berbeda, lho. Kita mendapati materi dan kemudian mencatatnya, dan ketika kita membutuhkannya lagi kita tinggal membuka. Mencatat seperti menyusun ingatan yang satu persatu disimpan dalam pikiran kita. Benarlah kata sebuah pepatah, bahwa kita harus mengingat ilmu dengan tulisan.
Seiring berjalannya waktu, masa kuliah dan kemudian bekerja, rasanya kebiasaan menulis itu sedikit menurun. Lambat laun, saya hanya mempraktekkan menulis sebagai salah satu media komunikasi antar instansi saja. Menulis surat, nota dinas, surat pengantar dan hal-hal lainnya yang cenderung kaku dan terbawa sampai sekarang. Padahal, mungkin mencoba untuk menulis sesuatu lagi yang lebih bisa mengeksplorasi diri dan memulai untuk menyentuh sastra bukan hal yang aneh untuk dicoba. Wkwkwk. Ya, mungkin saya akan perlahan menuju ke sana, di lain waktu.
Terlepas dari itu semua, saya merasa memang tidak ada salahnya untuk mengulang kembali kebiasaan mencatat seperti jaman sekolah dulu. Meski sekarang sudah ada gadget yang bisa membantu memfasilitasi kita, saya rasa mencatat manual masih menjadi keasyikan tersendiri. Apalagi jika catatan kita dibuat menjadi buku atau jurnal yang diberi aksen yang lucu. Pasti akan menambah semangat ketika mencatat, dan akan berdampak positif pada kebiasaaan mencatat kita.
Post a Comment