Selamat pagi, kami siap melayani Anda.
Tulisan spanduk terpampang jelas di depan kantor Ruminten dan teman-temannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Pertanda, layanan untuk para wajib pajak siap untuk dibuka. Matahari menyinari dengan semburatnya, menghangatkan kantor kecil yang terletak di Jalan Sanubari, Desa Ujan Mas pagi itu.
Ruminten tengah bersiap duduk di depan mejanya. Kebiasaannya adalah menyalakan tivi. Suasana kantor itu memang tidak terlalu ramai. Untuk menemaninya bekerja, memeriksa surat-surat masuk dan keluar, ia biasanya menjadikan televisi sebagai teman greneng-greneng.
"Selamat pagi, kebakaran yang menimpa lahan di kabupaten Lebong kali ini menewaskan setidaknya sepuluh orang. Para petani yang diduga tengah berada di area perkebunan kopi, ditemukan tidak bernyawa. Polisi tengah menyelidiki akibat dari kebakaran lahan yang seluar lima ratus meter itu."
Suasana hati Rumiinten pun agak berubah. Pikirannya berjalan kemana-mana. Kebakaran lagi, kematian lagi. Entah, siapakah dalang dibalik itu semua, atau benar-benar murni kelalaian dari manusia. "Ah, sudahlah, baiknya aku ganti channel saja.", gumamnya dalam hati sambil mencoba mengembalikan semangatnya yang mulai menghilang. Tak lama kemudian, Eni mengetuk pintu ruang Ruminten.
"Iya, kenapa Mbak En?", tanya Rum.
"Ada seseorang menunggu Mbak Rum di luar Mbak. Ini sudah saya minta menunggu di ruang tamu kita Mbak. Beliau Pak Arya Mbak, katanya sudah janjian dengan Mbak Rum kemarin."
"Oh Iya, tolong dibantu buatkan kopi dulu ya. Saya akan bersiap.", tandas Rum sambil kembali mengubah laptopnya ke dalam mode sleep.
***
"Pagi Pak Arya, monggo sambil diminum minumannya. Saya kira kita bertemu di Rumah Makan, kok jadinya malah kesini Pak?"
"Iya Mbak, maaf mengganggu waktu paginya, ya. Saya kebetulan siang nanti harus pergi ke Lebong. Ada sesuatu yang harus saya urus di sana. Jadi saya izin bertemu Mbak disini, ya. Oiya Mbak, langsung saja ya Mbak. Ini saya berikan proposal investasi di kebun kami, seperti yang saya janjikan waktu lalu. Saya benar-benar ingin membantu Mbak Rum tulus, Mbak. Karena Parno sudah saya anggap adek saya sendiri. Coba dilihat lagi Mbak. Ini sangat terbatas dan Mbak Rum salah satu yang saya pilih untuk bergabung dengan kami.", kata Pak Arya, salah satu pemilik kebun kopi yang menguasai sebagian besar kebun kopi komersil di daerah Kepahiang. Sesaat kemudian dia melirik Rusdi untuk menyerahkan dokumen dalam map warna merah yang ada di atas meja itu, mendekatkan ke arah Rum.
"Hmm.. Bapak mungkin sudah tau jawaban saya. Mohon maaf jadi tidak enak ini. Sudah menolak penawaran ke sekian kali. Saya sudah cukup repot mengurus kantor ini, Pak. Ini dibawa saja, kalau nanati saya berubah pikiran, saya akan telepon Bapak lagi."
Ruminten memang tidak mau terlalu banyak berhubungan dengan orang-orang yang dikenal oleh suaminya. Bagaimana tidak, Arya Pitaloka adalah pemilik kebun kopi yang bisa dibilang paling dekat dengan Parno. Menerima tawaran untuk bekerja sama? Ah, apa kata orang. Uang pesangon suaminya pun ia tak sudi mengambilnya. Jangankan berbalik untuk bersinggungan dengan mereka, oh No!
***
Pukul 09.56, tanggal 26 Februari 2013. Sebuah telepon berdering di Handphone Ruminten. Waktu itu, ia sedang mengadakan kegiatan pertemuan di Bengkulu. Kegiatan pertemuan kantor lamanya, dengan beberapa pengusaha besar. Dalam pertemuan itu ia bertemu dengan orang-orang penting yang memegang kendali perekonomian di Bumi Rejang. Beberapa pengusaha makanan, pengusaha percetakan, pengusaha kopi, dan pebisnis travel serta perjalanan semua berkumpul dalam sebuah ruangan.
Parno, suami yang bekerja lebih banyak di lapangan memang tidak banyak bertemu dengan Ruminten. Bisa dibilang, seminggu sekali mereka bertemu.
Sama seperti minggu-minggu sebelumnya, mereka menjalani Long Distance Marriage, istilah keren jamans ekarang. Namun bagi Rum, perjalanan satu setengah jam menuju Ujan Mas sudah cukup untuk mengobati rasa kangennya dengan suaminya itu.
Pagi itu tidak seperti biasanya. Ruminten telah beberapa kali mengingatkan suaminya untuk makan, untuk banyak meminum air putih, dan mengenakan baju yang lengkap sebelum terjun ke lapangan.
"Hati-hati, ya Mas. Ini aku mau mimpin rapat dulu, doakan lancar ya. Assalamualaykum..."
Minuman dan makanan pun mulai disajikan di meja para tamu yang hadir dalam pertemuan yang dipimpin oleh Ruminten pagi itu. Sejenak, ia menaruh handphone jauh dari jangkauannya karena rapat pagi ini agak serius.
Setelah setengah jam berlalu, entah kenapa firasat anehpun muncul. Handphone-nya jatuh ke lantai. Ia melihat ada beberapa miscall terpampang di layarnya. Dalam hatinya pun muncul beberapa pertanyaan, namun, rapat kali ini penuh konsentrasi dan tak dapat ia tinggalkan. Ia pun kembali melihat ke pembahasan, dan melihat senyum sinis dari Pak Arya melihat dia meraih handphone yang jatuh.
typo di tulisan jamans ekarang tuh kak
ReplyDeleteAgak terjawab deh ya itu pekerjaan suami Ruminten hahaha
Oiyaa... nulisnya malam2 dah belum smpt editing lagi. Makasih kak miaa
Deletefirasat apa ya aku mulai penasaran
ReplyDeletetunggu di episode 4/5 yaa Kak.. wkwkw
DeleteDuh ada apa yaaa dengan Ruminten?? Apa ada kaitannya dengan kebakaran kebun kopi itu?
ReplyDeleteini juga di episode berikutnya Kaak..
Delete