Waktu menunjukkan pukul 18.30, Ruminten masih berada di kota kecil Lebong, berdua dengan Santos. Ia bingung apakah mau menginap di sana saja, atau melaju untuk kembali ke Kepahiang. Jikalau dia mau melaju, perjalanan dari Lebong ke Kepahiang memaakan waktu setidaknya lima jam. Itupun harus melewati hutan di kanan kiri. Belum kalau ada cerita-cerita yang kurang mengenakkan di perjalanan jika harus berdua saja dengan Santos, juniornya.
"Jadi
gimana, Mbak, mau menginap saja?, tanya Santos.
"Kayaknya
terlalu riskan kalau kita balik ke Ujan Mas, ya? Boleh deh dicariin penginapan,
Santos. Tapi aku nggak mau yang mewah, ya. Aku mau yang lokal saja, kalau bisa
yang disediakan penduduk setempat.", jawab Rum.
Setengah jam
mencari, akhirnya Santos menemukan penginapan yang tepat untuk Ruminten. Santos
memilih untuk tidak menginap di hotel, tetapi menumpang di rumah temannya yang
bekerja di Kementerian Agama Kabupaten Lebong.
"Mbak, aku
pergi dulu ya. Kalau butuh apa-apa, telepon atau wa saja ya Mbak. " ucap
Santos sebelum meninggalkan Ruminten sendirian di penginapan Mawar di Lebong.
Penginapan itu merupakan penginapan kecil yang dimiliki oleh penduduk lokal. Ia
memang tidak suka yang mewah-mewah. Selain hemat, ia bisa lebih membumi dengan
penduduk setempat.
Kamar yang
disewakan ini berukuran 3x2,5 meter. Cukup untuk Ruminten membuka laptop dan
menyiapkan untuk esko hari, serta beristirahat. Kali ini, ia ingin duduk
sebentar di ruang luar, dan bercakap-cakap dengan pemilik penginapan itu.
"Jadi ibu
sudah lama membuka penginapan ini, Bu? Rumahnya nyaman, homey banget Bu"
"Iya, Nak.
Nenek membuka ini sudah lebih dari tiga puluh tahun. Tapi hampir separuhnya
nenek mengurus ini sendiri. "
"Kenapa
sendirian, Nek?"
"Suami dan
anak dan menantu nenek dulu bekerja di ladang, Nak. Tapi sudah lima tahun ini
meninggal di perkebunan di Kepahiang. Kalau ingat itu nenek jadi sedih, hidup
nenek seperti sudah tidak ada harganya. Tapi, nenek harus tetap mengurus rumah
ini, karena ini satu-satunya peninggalan kakek ", tandas nenek.
"Aduh,
maafkan saya ya Nek. Saya tidak bermaksud menyinggung pengalaman sedih
nenek.", ucap Ruminten.
Karena merasa
bersalah dengan nenek pemilik penginapan itu, akhirnya Rum kembali ke kamarnya.
Direbahkannya tubuhnya ke atas kasur yang lumayan empuk. Ia mencoba untuk
menutup mata dan beristirahat, tetapi kemudian teringat akan satu hal.
"Lima tahun
lalu, kematian anak dan cucu Nenek. Sss... lima tahun lalu? Kepahiang?"
Jiwa
penasarannyapun muncul kembali. Tetapi ia ingin kembali melupakan. Ah, jadi
bingung jadinya. Antara tidur atau terjaga? Akhirnya dia memilih untuk tidur.
Tetapi sebentar, tadi kan dia belum shalat Isya?
***
Dia berjalan melewati beberapa
kamar-kamar yang terbuat dari kayu. Rumah itu mirip dengan rumah kontrakannya
yang di Ujan Mas. Untuk mencapai kamar mandi atau sumber air ia harus keluar
penginapan. Begitu tiba ti sumber air, ia melihat halaman berwarna cokelat yang
terlihat seperti gundukan. Seseorang yang bertubuh bungkuk mendekati gundukan
itu, berdiri dan sedikit mengarah ke duduk.
"Nek....", Ruminten cepat mengenali.
"Nek...", panggilan kedua Ruminten untuk nenek. Karena ia ingat
betul, orang yang berdiri itu adalah nenek yang mengajaknya bercakap tadi di
ruang tamu penginapan mawar.
"Nek... ini
Rum....", tandas Ruminten berkata kepada nenek tua tadi.
Apa yang terjadi?
Seorang nenek berwajah menyeramkan menoleh ke arah Rum. Bajunya sama, jaketnya
sama. Gaya rambutnya pun sama. Tetapi terlihat wajah lebam kemerahan mengahdap
arah Rum sambil tersenyum.
"Astaga...
astaghfirullahadzim... Ne... nee... neneeek....." Rum menjawab sambil
kebingungan. Ia tidak mengira jika wajah nenek menjadi seperti itu. Apakah nenek
itu hantu? Mengapa nenek menjadi seperti itu? Ia mundur dan kembali ke
kamarnya. Ia tidak mau memastikan siapakah nenek tadi. Tetapi ia merasakan
sungguh hal di luar dugaan. Dengan tangan yang terburu-buru ia mengemasi
barang, meraih semua barang yang diambil lalu sebisa mungkin kabur dari
penginapan itu. Ya, ia harus cepat-cepat takut hal buruk terjadi.
***
Dengan berlari tergopoh-gopoh dan nafas ngos-ngosan. Ruminten pun
berhasil menjauhi penginapan tadi. Untung saja, handphone-nya tetap berhasil
dia bawa. Ia lalu segera menelpon Santos, menelon dan meminta pertolongan.
Tanpa disadari, jam sudah menunjukkan pukul 21.30, itu artinya sudah
memasuki malam hari.
"Ya Allah, aku belum salat...." ia bergumam sendiri, sambil
terus berusaha menghubungi Santos. Dua sampai tiga kali ia menelepon Santos,
tetapi Santos tidak mengangkat. Iapun berjalan kecil menyusuri kota di Lebong
itu, sampai akhirnya menemukan warung kecil dan ada bapak-bapak yang duduk
ngopi di depannya.
"PP.. Pak... bolehkah saya bertanya?" tanya Rum kepada
bapak-bapak itu.
"Ambo tadi nginap di penginapan Mawar, tapi ada hal aneh,
Pak."
"Oh, adek datang darimano? Dari luar Lebong, yo?", jawab
Bapak-bapak itu.
"Iyo, Pak, kami dari Kepahiang. Ada dinas di sini. tapi karena
sudah malam, saya nginap saja, karena kalau nglaju lama dan ngeri di jalan
Pak."
"Oh, gitu. Yo sini Nak, duduk dulu sajo. Adek nunggu sapo?",
tanya Bapak-bapak yang bersarung sambil membawa kopi.
"Iya, Pak. Nunggu balasan teman sudah saya hubungi."
Akhirnya Rum pun menunggu di warung kecil itu. Ia kesal dengan Santos,
kenapa tidak juga membalas telepon atau chatnya. Waktu menunjukkan pukul 22.00
waktu indonesia bagian Lebong.
"Sepertinya teman saya belum membalas, Pak. Saya numpang disini
sebentar ya Pak." permintaan Rum kepada bapak tadi.
"Nak, kamu boleh nginap atau tunggu disini dulu. ", tiba-tiba
seorang wanita keluar dari kamarnya. Ia menawarkan kepada Rum untuk menginap,
karena tau dia tadi pergi dari penginapan Mawar itu.
***
"Buk, boleh Rum tanya, sebenarnya penginapan Mawar itu apa Bu?
Jangan-jangan rumah hantu ya Bu?", tanya Rum kepada sesosok wanita yang
mempunyai warung yang telah menolongnya tadi.
"Susah dijelaskan, Nak.", jawab ibu itu sambil menyuguhkan
kopi kepada Rum.
Waktu malam di Lebong tidak seperti di Jakarta. Pukul sembilan sampai
sepuluh malam, orang-orang harus segera memasuki rumahnya. Daerah ini merupakan
daerah terpencil yang agak sepi. Di sekeliling desa tidak jauh bertemu dengan
hutan-hutan yang ditanami sengon atau kopi.
"Makasih banyak, ya Bu. Saya nggak tahu harus bilang apa ke
Ibu." kata Ruminten.
"Sama-sama Nak. Sebetulnya Nak Rum bukan yang pertama saya tolong.
Sudah banyak orang yang menginap di penginapan itu dan akhirnya berhasil kabur.
Jaman dahulu pas anak dan cucunya masih disitu, bahkan ada yang meninggal
disitu Mbak."
Mak deg! Kesal sekali rasanya Rum kepada Santos. Kenapa dia mencarikan penginapan yang seperti itu tanpa mengecek dahulu latar belakangnya. Awas kalau besok sampai kantor lagi, kukerjain!, gumam Ruminten dalam hati.
Post a Comment