Sebuah telepon berdering pagi itu. Rum tau bahwa itu berasal dari Santos, dan ia enggan mengangkat. Kejadian malam ini sulit dia jelaskan kepara orang lain, terlebih kepada Santos yang merekomendasikan kepadanya untuk menginap ke tempat itu. Rasa kesalnya kepada Santos belum sepenuhnya hilang dari kepala Ruminten. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengiriminya sebuah pesan,
Sudah, ayo kita pulang saja. Aku tunggu
setengah jam lagi, di warung berwarna hijau, dua ratus meter dari penginapan
Mawar.
Rum kemudian mengemasi barang-barangnya. Sebelum beranjak pergi dari tempat tumpangannya semalam itu, ia menyempatkan diri untuk berterima
kasih kepada Ibu yang baik hati yang menawarinya menginap di rumah itu. Ia mengeluarkan
uang dua ratus ribu dan menggenggamkannya kepada ibu itu.
“Sudah Nak, ini dibawa saja kembali ke Kepahiang ya Nak. Nggak
usah dibayar, yang penting ibu bisa menolong. Itu sudah cukup….” kata ibu tadi
kepada Rum dan mengembalikan uang dua ratus ribu kepada Ruminten.
“Ya Allah Gusti, Ibu baik banget…makasih banyak ya Bu.”, ucap
Ruminten.
“Nggak apa-apa Nak, saling membantu. Itu temannya sudah menunggu di luar, Nak. Hati-hati di jalan
ya. Jalananya agak licin, masih musim penghujan. Oiya, ini ada sedikit bingkisan
untuk bekal di perjalanan. Ini jeruk lebong
dan ada kue cucur. Nggak seberapa sih, tapi semoga bisa buat teman ngemil di
jalan ya Nak.” Ibu paruh baya itu memberikan bungkusan plastik kresek berwarna
hitam kepada Rum.
Masyaallah. Ruminten seperti menemukan taman di padang pasir. Setelah mengalami cerita menyeramkan dan menemukan si ibu baik hati, membuatnya mengucap syukur. Iapun segera memasuki mobil dan segera berangkat kembali ke Kepahiang.
“Mbak, maaf ya, aku nggak tau kalau penginapan itu ternyata bermasalah. Habis Mbak Rum mintanya yang penginapan lokal, sih….”, kata Santos.
“Duh sebenarnya aku sudah malas sekali untuk membahas tadi malam.
Apa yang kulihat bener-bener aneh. Tadi jam sembilanan, nenek itu masih ngobrol
denganku di ruang tamu. Tapi pas aku mau ke kamar mandi, ternyata dia berdiri
di samping kuburan. Yang lebih aneh lagi…”
Baru setengah Ruminten menceritakan pengalamannya kepada Santos,
Santospun sudah ketakutan.
“Stop Mbak.. stop.
Udah jangan diteruskan. Kita masih di tengnah-tengah hutan nih.. Mana udah
mulai mendung lagi ini. Oiya, aku lupa juga kemarin belum isi bensin full.
Semoga nggak mogok di jalan ya Mbak.”
“Astaga, Santos.
Udah berapa kali kubilang, kamu harus prepare sebelum ke suatu tempat. Eh,
ngomong-ngomong, hari ini aku belum minum jus berwarna merah. “, jawab Rum.
“Mbak Rum mulai
lagi deh…”, jawab Santos kepada Rum dan sudah tau dengan apa yang akan
dilakukan Ruminten dengan jus itu.
“Mbak, telepon itu
Mbak. “
Betul sekali yang dikatakan Santos. Sembari di perjalanan,
ternyata ada sebuah telepon masuk. Tidak lain dan tidak bukan telepon itu
berasal dari Pak Arya Pitaloka, pengusaha yng kemarin menarkan investasi kopi. Mau tidak mau Ruminten harus mengangkatnya karena yakin bahwa dirinya akan sekali lagi menolak tawaran investasi di perkebunan milik Pak Arya.
“Selamat pagi
Mbak….”, suara Pak Arya dari dalam telepon.
“Selamat pagi, Pak.
Eh maaf Pak, ini saya lagi di perjalanan. Sinyal sepertinya agak susah.
Bolehkah kalau satu atau dua jamlagi teleponnya Pak. Atau kalau Pak Arya ada hal
mendesak boleh lewat chat dulu.”, jawab Ruminten, tegas.
“Mbak, Rum. Ini pertanyaan saya untuk kali
terakhir. Saya menawarkan Mbak Rum untuk bergabung lagi berinvestasi dengan
saya. Jika Mbak Rum tidak mengiyakan, saya kawatir nasib Mbak Rum tidak baik.”
Chat
dari Pak Arya ini sungguh membuat Rum terkejut. Tidak biasanya dia berkata yang
agak keras itu. Dalam hati Rum sebetulnya menyimpan kekesalan. Bagaimana tidak,
lima tahun terakhir dia kehilangan suaminya yang waktu itu bekerja dengan Pak
Arya.
“Santos, gimana bensin kita aman,
kan?Atau kalau tidak kita cari pom bensin paling dekat.”, kata Rum berusaha mengalihkan perhatian.
“Wokeey Mbak.”, jawaban Santos.
Setelah
satu jam perjalanan, Rum dan Santos masih berada di kawasan hutan di Lebong. Ia
akhirnya berhasil menemukan satu-satunya pom bensin di kawasan itu. Di dekat
pom bensin itu tampak penjual penjual yang menjajakan makanan seperti ubi,
singkong, jeruk, dan beberapa sayuran.
Rum masih menerawang mencoba menjawab
pertanyaan Pak Arya. Kenapa sih dia selalu memaksanya untuk ikuta berinvestasi
di kebun itu? Apa yang akan dia lakukan kepadanya? Kenapa dia tidak minta maaf
saja kepadanya karena sudah membuat suaminya kecelakaan?
“Mbak, jangan ngelamun. Ini masih di
tengah hutan. “, Santos menghampiri Ruminten dan memberikan dua buah kresek
berisi jeruk lebong.
“Santos, kok tiba-tiba aku lapar ya.
Kita cari sarapan dan ngopi dulu, yuk. “ ajak Rum.
“Ye, di tengah hutan mah emang ada warung mbak?Eh, sebentar…. Oh itu, di ujung ada penjual soto. Yuk kita ke situ Mbak, nanti Santos yang traktir deh. “
Ruminten dan Santos pun akhirnya berhenti sebentar di warung soto di ujung deretan penjual. Tak terlalu lama dari dia duduk disana, ternyata dua orang polisi ikut bergabung. Tapi kedatangan polisi yang bergabung dengan Rum tadi tidak terlalu mengejutkan daripada pengalaman bertemu nenek dengan wajah mengerikan tadi malam.
“Santos,
menurutmu gimana kalau aku invest di kebun kopi? Tanya Rum.
“Bagus,
Mbak, Kan kopi sekarang lagi ngehits. Apalagi beberapa tahun lagi, pasti rejeki
nomplok, Mbak.”, jawab Santos meyakinkan.
“Tapi
ini yang nawarinnya Bosnya suamiku yang dulu. Pak Arya. Trus dia pakai ngancam.
Kalau aku nggak gabung, aku bisa mengalami hal-hal yang nggak mengenakkan. Kok
serem, ya.” Jawab Rum.
“Kalau
aku jadi Mbak Rum sih, aku okein Mbak. Biar aku cepet kaya.. nggak jadi staf
lagi, hahahaha.”
Salah
aku nanya Santos, gumam Rum dalam hati. Rum pun cepat-cepat menghabiskan
sotonya dan kopinya yang sudah agak dingin. Ia pun mendekati beberapa polisi
yang tadi duduk di meja yang sederet dengannya.
“Halo,
Pak. Ini lagi patroli apa gimana Pak?, tanya Rum sok tau kepada polisi yang
ikut numpang sarapan di warung yang sama.
“Ya,
Mbak. Ini kami lagi mau menuntaskan kasus kematian petani yang kemarin di Lebong.
Mbak lihat beritanya nggak?” kata polisi itu.
“Oh
iya Pak. Yang hari apa itu ya, Sempat lihat kemarin dari RBTV. Memangnya kenapa
sih Pak?”, Rum berusaha menanyakan hal detail kepada polisi itu.
“Itu
nggak bisa kami sampaikan disini Mbak. Tapi kasus kematian di kebun kopi
sepertinya bukan satu dua hal kalau di tanah Rejang ini. Tim investasi baru
mencurigai sebuah rumah yang dicurigai menyimpan barang bukti. “
“Oh, rumahnya
dimana Pak?”
“Ya
itu, kami sedang periksa. Kalau dari TKP kami sudah memeriksa beberapa orang
yang dicurigai bekerja bersama pelaku. Sepertinya pelakunya bukan sembarangan
orang, Mbak. Soalnya kejahatannya rapi, terstruktur. Yang kejadin lima tahun
lalu juga ada yang lebih mengerikan. Dibunuh disamping rumahnya sendiri.”
Duh,
kalimat-kalimat itu seperti mengungkit kembali kenangan kematian suaminya
Ruminten. Dia sedang mencerna kalimat yang disampaikan bapak polisi tadi. Masa
ia di warung soto begini dia ngomong hal yang serius? Apa bisa dipercaya?
Post a Comment